Pendidikan
karakter kembali menemukan momentumnya belakangan ini; bahkan menjadi
salah satu program prioritas Kementerian Pendidikan Nasional (kini
Kemendikbudnas). Meski sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir, telah
banyak perbincangan baik melalui konperensi, seminar dan pembicaraan
publik lainnya, belum banyak terobosan kongkrit dalam memajukan
pendidikan karakter. Dengan kebijakan Kemendikbudnas, pendidikan
karakter sudah saatnya dapat terlaksana secara kongkrit melalui
lembaga-lembaga pendidikan dan masyarakat luas.
Segera jelas, pendidikan karakter terkait dengan bidang-bidang lain,
khususnya budaya, pendidikan, dan agama. Ketiga-tiga bidang kehidupan
terakhir ini berhubungan erat dengan nilai-nilai yang sangat penting
bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Budaya atau kebudayaan
umumnya mencakup nilai-nilai luhur yang secara tradisional menjadi
panutan bagi masyarakat. Pendidikan—selain mencakup proses transfer dan
transmissi ilmu pengetahuan—juga merupakan proses sangat strategis dalam
menanamkan nilai dalam rangka pembudayaan anak manusia. Sementara itu,
agama juga mengandung ajaran tentang berbagai nilai luhur dan mulia bagi
manusia untuk mencapai harkat kemanusiaan dan kebudayaannya.
Tetapi, ketiga sumber nilai yang penting bagi kehidupan itu dalam
waktu-waktu tertentu dapat tidak fungsional sepenuhnya dalam
terbentuknya individu dan masyarakat yang berkarakter, berkeadaban, dan
berharkat. Budaya, pendidikan dan bahkan agama boleh jadi mengalami
disorientasi karena terjadinya perubahan-perubahan cepat berdampak luas,
misalnya, industrialisasi, urbanisasi, modernisasi dan terakhir sekali
globalisasi.
Krisis Karakter Bangsa
Pembicaran tentang membangun kembali watak dan karakter guna
revitalisasi kebangggaan dan kehormatan bangsa telah memenuhi ruang
publik sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya pada 1998
hingga sekarang ini—telah lebih daripada satu dasawarsa.
Perubahan-perubahan dramatis, cepat dan berjangka panjang dalam
kehidupan politik yang pada gilirannya juga menimbulkan disorientasi
sosial dan kultural memunculkan wacana dan harapan tentang perlunya
pembentukan kembali watak bangsa; ungkapan Presiden pertama RI, Soekarno
tentang ‘nation and character building’ kembali menemukan relevansinya.
Berakhirnya kekuasaan Orde Baru, berbarengan dengan munculnya krisis
dalam berbagai aspek kehidupan bangsa telah menimbulkan krisis pula
dalam watak dan ketahanan bangsa. Semakin derasnya arus globalisasi yang
membawa berbagai bentuk dan ekspresi budaya global merupakan faktor
tambahan penting yang mengakibatkan pengikisan watak bangsa berlangsung
semakin lebih cepat dan luas. Akibat lebih lanjut, krisis watak bangsa
menimbulkan disrupsi dan dislokasi dalam kehidupan sosial dan kultural
bangsa, sehingga dapat mengancam integritas dan ketahanan bangsa secara
keseluruhan.
Masa sejak masa pasca-Soeharto sampai sekarang ini yang sering
disebut sebagai “masa reformasi” kita agaknya hanya mampu mewujudkan
sebagian dari cita-cita pembentukan masyarakat Indonesia yang
berkarakter; tetapi masih banyak lagi agenda yang harus dilakukan. Untuk
menyebut satu bidang kehidupan saja, Indonesia memang menjadi lebih
demokratis, bahkan kini mungkin “terlalu demokratis”. Jika pada masa
Soeharto kita memiliki “too little too late democracy”, kini kita agaknya mempunyai “too much democracy”,
yang secara salah masih saja diekspresikan dalam bentuk demonstrasi
yang berkepanjangan. Dengan demikian, konsolidasi demokrasi belum
sepenuhnya terwujud, meski Indonesia sukses melaksanakan Pemilu
legislatif dan Presiden 2004; Pemilu Legislatif 9 April 2009, dan
Pilpres 8 Juni 2009, yang juga berjalan relatif aman, dan damai. Namun
pada pihak lain, Pemilukada yang berlangsung seolah-olah tidak pernah
putus di berbagai daerah sering berujung konflik horizontal; keadaban
nyaris lenyap dalam aksi-aksi massa yang terlibat dalam pertikaian
politik.
Dengan begitu terlihat bahwa masyarakat kita mengalami berbagai
disorientasi. Karena itulah harapan dan seruan dari berbagai kalangan
masyarakat kita dalam beberapa tahun terakhir untuk pembangunan kembali
watak atau karakter kemanusiaan melalui pendidikan karakter menjadi
semakin meningkat dan nyaring. Kebijakan Kemendikbudnas mengutamakan
pendidikan karakter dapat menjadi momentum penting dalam konteks ini di
tanah air kita.
Jika dilacak lebih jauh, krisis dalam watak dan karakter bangsa itu
terkait banyak dengan semakin tiadanya harmoni dalam keluarga (Cf.
International Education Foundation 2000). Banyak keluarga mengalami
disorientasi bukan hanya karena menghadapi krisis ekonomi, tetapi juga
karena serbuan globalisasi nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu
kompatibel dengan nilai-nilai dan norma-norma agama, sosial-budaya
nasional dan lokal Indonesia. Sebagai contoh saja, gaya hidup hedonistik
dan materialistik; dan permissif sebagaimana banyak ditayangkan dalam
telenovela dan sinetron pada berbagai saluran TV Indonesia, hanya
mempercepat disorientasi dan dislokasi keluarga dan rumahtangga.
Akibatnya, tidak heran kalau banyak anak-anak yang keluar dari
keluarga dan rumahtangga hampir tidak memiliki watak dan karakter.
Banyak di antara anak-anak yang alim dan bajik di rumah, tetapi nakal di
sekolah, terlibat dalam tawuran, penggunaan obat-obat terlarang, dan
bentuk-bentuk tindakan kriminal lainnya, seperti perampokan bis kota dan
sebagainya. Inilah anak-anak yang bukan hanya tidak memiliki kebajikan (righteousness) dan inner beauty dalam karakternya, tetapi malah mengalami kepribadian terbelah (split personality).
Sekolah menjadi seolah tidak berdaya menghadapi kenyataan ini. Dan
sekolah selalu menjadi kambing hitam dari merosotnya watak dan karakter
bangsa. Padahal, sekolah sendiri menghadapi berbagai masalah berat
menyangkut kurikulum yang overload, fasilitas yang tidak
memadai, kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan yang rendah.
Menghadapi beragam masalah ini sekolah seolah kehilangan relevansinya
dengan pembentukan karakter. Sekolah, sebagai konsekuensinya, lebih
merupakan sekadar tempat bagi transfer of knowledge daripada character building, tempat pengajaran daripada pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar