Senin, 23 Desember 2013

PENDIDIKAN KARAKTER


Pendidikan karakter kembali menemukan momentumnya belakangan ini; bahkan menjadi salah satu program prioritas Kementerian Pendidikan Nasional (kini Kemendikbudnas). Meski sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak perbincangan baik melalui konperensi, seminar dan pembicaraan publik lainnya, belum banyak terobosan kongkrit dalam memajukan pendidikan karakter. Dengan kebijakan Kemendikbudnas, pendidikan karakter sudah saatnya dapat terlaksana secara kongkrit melalui lembaga-lembaga pendidikan dan masyarakat luas.



Segera jelas, pendidikan karakter terkait dengan bidang-bidang lain, khususnya budaya, pendidikan, dan agama. Ketiga-tiga bidang kehidupan terakhir ini berhubungan erat dengan nilai-nilai yang sangat penting bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Budaya atau kebudayaan umumnya mencakup nilai-nilai luhur yang secara tradisional menjadi panutan bagi masyarakat. Pendidikan—selain mencakup proses transfer dan transmissi ilmu pengetahuan—juga merupakan proses sangat strategis dalam menanamkan nilai dalam rangka pembudayaan anak manusia. Sementara itu, agama juga mengandung ajaran tentang berbagai nilai luhur dan mulia bagi manusia untuk mencapai harkat kemanusiaan dan kebudayaannya.
Tetapi, ketiga sumber nilai yang penting bagi kehidupan itu dalam waktu-waktu tertentu dapat tidak fungsional sepenuhnya dalam terbentuknya individu dan masyarakat yang berkarakter, berkeadaban, dan berharkat. Budaya, pendidikan dan bahkan agama boleh jadi mengalami disorientasi karena terjadinya perubahan-perubahan cepat berdampak luas, misalnya, industrialisasi, urbanisasi, modernisasi dan terakhir sekali globalisasi.
Krisis Karakter Bangsa
Pembicaran tentang membangun kembali watak dan karakter guna revitalisasi kebangggaan dan kehormatan bangsa telah memenuhi ruang publik sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya pada 1998 hingga sekarang ini—telah lebih daripada satu dasawarsa. Perubahan-perubahan dramatis, cepat dan berjangka panjang dalam kehidupan politik yang pada gilirannya juga menimbulkan disorientasi sosial dan kultural memunculkan wacana dan harapan tentang perlunya pembentukan kembali watak bangsa; ungkapan Presiden pertama RI, Soekarno tentang ‘nation and character building’ kembali menemukan relevansinya.
Berakhirnya kekuasaan Orde Baru, berbarengan dengan munculnya krisis dalam berbagai aspek kehidupan bangsa telah menimbulkan krisis pula dalam watak dan ketahanan bangsa. Semakin derasnya arus globalisasi yang membawa berbagai bentuk dan ekspresi budaya global merupakan faktor tambahan penting yang mengakibatkan pengikisan watak bangsa berlangsung semakin lebih cepat dan luas. Akibat lebih lanjut, krisis watak bangsa menimbulkan disrupsi dan dislokasi dalam kehidupan sosial dan kultural bangsa, sehingga dapat mengancam integritas dan ketahanan bangsa secara keseluruhan.
Masa sejak masa pasca-Soeharto sampai sekarang ini yang sering disebut sebagai “masa reformasi” kita agaknya hanya mampu mewujudkan sebagian dari cita-cita pembentukan masyarakat Indonesia yang berkarakter; tetapi masih banyak lagi agenda yang harus dilakukan. Untuk menyebut satu bidang kehidupan saja, Indonesia memang menjadi lebih demokratis, bahkan kini mungkin “terlalu demokratis”. Jika pada masa Soeharto kita memiliki “too little too late democracy”, kini kita agaknya mempunyai “too much democracy”, yang secara salah masih saja diekspresikan dalam bentuk demonstrasi yang berkepanjangan. Dengan demikian, konsolidasi demokrasi belum sepenuhnya terwujud, meski Indonesia sukses melaksanakan Pemilu legislatif  dan Presiden 2004; Pemilu Legislatif  9 April 2009, dan Pilpres 8 Juni 2009, yang juga berjalan relatif aman, dan damai. Namun pada pihak lain, Pemilukada yang berlangsung seolah-olah tidak pernah putus di berbagai daerah sering berujung konflik horizontal; keadaban nyaris lenyap dalam aksi-aksi massa yang terlibat dalam pertikaian politik.
Dengan begitu terlihat bahwa masyarakat kita mengalami berbagai disorientasi. Karena itulah harapan dan seruan dari berbagai kalangan masyarakat kita dalam beberapa tahun terakhir untuk pembangunan kembali watak atau karakter kemanusiaan melalui pendidikan karakter menjadi semakin meningkat dan nyaring. Kebijakan Kemendikbudnas  mengutamakan pendidikan karakter dapat menjadi momentum penting dalam konteks ini di tanah air kita.
Jika dilacak lebih jauh, krisis dalam watak dan karakter bangsa itu terkait banyak dengan semakin tiadanya harmoni dalam keluarga (Cf. International Education Foundation 2000). Banyak keluarga mengalami disorientasi bukan hanya karena menghadapi krisis ekonomi, tetapi juga karena serbuan globalisasi nilai-nilai dan gaya hidup yang tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai dan norma-norma agama, sosial-budaya nasional dan lokal Indonesia. Sebagai contoh saja, gaya hidup hedonistik dan materialistik; dan permissif sebagaimana banyak ditayangkan dalam telenovela dan sinetron pada berbagai saluran TV Indonesia, hanya mempercepat disorientasi dan dislokasi keluarga dan rumahtangga.
Akibatnya, tidak heran kalau banyak anak-anak yang keluar dari keluarga dan rumahtangga hampir tidak memiliki watak dan karakter. Banyak di antara anak-anak yang alim dan bajik di rumah, tetapi nakal di sekolah, terlibat dalam tawuran, penggunaan obat-obat terlarang, dan bentuk-bentuk tindakan kriminal lainnya, seperti perampokan bis kota dan sebagainya. Inilah anak-anak yang bukan hanya tidak memiliki kebajikan (righteousness) dan inner beauty dalam karakternya, tetapi malah mengalami kepribadian terbelah (split personality).
Sekolah menjadi seolah tidak berdaya menghadapi kenyataan ini. Dan sekolah selalu menjadi kambing hitam dari merosotnya watak dan karakter bangsa. Padahal, sekolah sendiri menghadapi berbagai masalah berat menyangkut kurikulum yang overload, fasilitas yang tidak memadai, kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan yang rendah. Menghadapi beragam masalah ini sekolah seolah kehilangan relevansinya dengan pembentukan karakter. Sekolah, sebagai konsekuensinya, lebih merupakan sekadar tempat bagi transfer of knowledge daripada character building, tempat pengajaran daripada pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar